kondisi selama perjuangan melawan BPLS
31 Mei 2012
Enam Tahun Lumpur Lapindo, Sisakan Tangis dan Dampak Sosial
PADA 29 MEI kemarin tragedi luapan lumpur lapindo di
Porong, Sidoarjo memasuki tahun keenam. Namun demikian penyelesaian
sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih menyisakan tanda tanya.
Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada korban belum tuntas.
Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata
volume lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per
hari.
Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286
keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi
mencapai sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum
lolos verifikasi sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali,
yaitu sebanyak 73 berkas dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp 400 miliar yang akan
didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti rugi di bawah
Rp 500 juta. Sedangkan sisanya ‘belum jelas’.
Enam Tahun Menyisakan Tangis
Senin (28/5) lalu, Nanik Mulyani warga Desa Jatirejo Kecamatan Porong
tak kuasa membendung derai air matanya. Sambil terisak ia bercerita
tentang hidupnya yang mendadak berubah drastis semenjak lumpur
membanjiri desanya dan terutama tempatnya bekerja.
Dalam diskusi enam tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Surabaya, Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (28/5)
ini Nanik dan sejumlah perempuan lain korban lumpur bercerita, sambil
terisak mereka menumpahkan endapan masalah yang tak kunjung usai.
Wanita yang sebelumnya bekerja di pabrik ini mesti menanggung
kehilangan pekerjaan, karena tempatnya bekerja terendam lumpur. Belum
lagi rumahnya ikut pula terendam. Lengkap sudah, pekerjaan hilang,
rumahpun tak punya. Untuk menghidupi diri dan keluarganya, kini Nanik
bekerja sebagai pembantu rumah tangga mulai pagi hingga sore. Pada malam
hari, ia mencari uang dengan menjadi tukang ojek.
Dalam hal ganti rugi, dia yang hingga kini masih mengungsi ini
memilih skema pembayaran cash and carry dari PT Minarak Lapindo Jaya
dengan pola pembayaran 20 persen lalu 80 persen. Tapi itupun tak
menyelesaikan persoalannya. “sampai sekarang saya baru terima 20 persen,
itu pun harus dibagi dengan saudara ada delapan orang,” ujarnya sambil
terus terisak.
“Saya ingin uang saya dibayar. Ini sudah enam tahun. Kemarin saya
ikut demo ke Surabaya, malah dilempari gas air mata,” lanjutnya.
Bertema “Pulihkan Hidup Kami, Selamatkan Negeri Ini”, dalam diskusi
itu ditampilkan film dokumenter tentang kehidupan korban lumpur Lapindo.
Tampak kondisi taman kanak-kanak siswa korban lumpur yang hanya
berdinding triplek minim fasilitas, dindingnya pun hanya menutupi
separuh bangunan.
Dampak Sosial
Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya menimbulkan dampak sosial.
Masalah kesehatan misalnya. Data di Puskesmas Porong menunjukkan tren
sejumlah penyakit terus meningkat sejak 2006. Penderita infeksi saluran
pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak 24.719 orang, pada 2009
meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu, gastritis yang pada
2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat menjadi 22.189
penderita.
Kemudian masalah pendidikan, setelah 33 sekolah ditenggelamkan
lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun sekolah pengganti yang
dibangun pemerintah.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, potensi masalah lain
yang timbul adalah masalah kecemburuan sosial dan konflik antarwarga.
Mengapa demikian?
Koordinator Nasional JATAM Andrie S Wijaya menjelaskan, penetapan
wilayah terdampak lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur,
semakin tidak jelas. Hal ini lah yang berpotensi memunculkan kecemburuan
sosial dan konflik antarwarga dari daerah yang terkena dampak lumpur.
“Bibit konflik horisontal di tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan,” kata Andrie.
Banyak warga yang belum mendapat ganti rugi padahal daerah mereka
ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak pertama kali semburan lumpur
terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu, pemerintah malah
menetapkan wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran. Ini tentu
akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah menetapkan wilayah lain sebagai wilayah terdampak baru dan
proses pembayaran dipercepat, sementara wilayah yang jelas-jelas
terdampak dari awal, pembayarannya malah belum jelas.
Tuntutan
Mulai 16 April lalu, lebih dari 2.000 orang secara bergantian
memblokade tanggul lumpur di titik 25, Porong, Sidoarjo. Meski terhitung
menjadi korban pertama yang terusir dari kampung halaman sejak 2006,
hingga kini proses ganti ruginya belum tuntas. Padahal, proses ganti
rugi kepada rekan-rekan mereka yang kampungnya tenggelam belakangan
malah sudah banyak yang beres.
Selama blokade, warga melarang truk-truk BPLS masuk. Praktis selama
enam minggu belakangan sama sekali tak ada penguatan tanggul.
Padahal, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad
Kusairi mengatakan, curah hujan yang akhir-akhir ini cukup tinggi
mengakibatkan kondisi tanggul kritis. Ia khawatir akan kondisi tanggul
jika warga tetap bersikeras menduduki tanggul titik 25 sampai ada
kejelasan status.